Presentasi Kelompok 1 — Matakuliah Teologi Dasar, Sabtu, 14 September 2019
Matakuliah TEOLOGI DASAR
Pengampu: Dr. A.A. Yewangoe, Dr. Thobias A. Messakh, Dr. Stenly R. Paparang
Presentasi Kelompok 1, Sabtu, 14 September 2016
versi PDF download di sini Kelompok 1–Teologi Dasar
[1] Andreas Christanto
[2] Anen Mangapul Situmorang
[3] Adhi Wibowo
[4] Rini Widiastuti
Materi Presentasi: Becker, Dieter. “Maksud dan Metode Teologi Dogmatika.” dalam Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, 1-18. Jakarta: Gunung Mulia, 2012. Presentasi difokuskan pada menjawab enam pertanyaan pada hlm. 18. (Dikerjakan dengan menggunakan beberapa literatur tambahan)
§1 APA YANG DIMAKSUD DENGAN KATA “DOGMA”?
Sebagai Istilah Umum Pada Zamannya
Kata dogma yang kita pakai saat ini berasal dari kata Yunani δογμα (baca: dog-ma, tunggal), atau δογματα (baca: dog-ma-ta, jamak), yang secara umum berarti rumusan prinsip-prinsip, pendapat, buah pikir sebagai hasil dari kegiatan berpikir, -kata kerja δoκω yang berarti saya berpikir (Soedarmo, 3; Stylianos, 9). Baik δογμα maupun δογματα merupakan istilah generik/ umum pada zaman Yunani untuk menyebut hasil dari kegiatan berfilsafat, yang sederhananya dapat diartikan sebagai ajaran-ajaran (van Niftrik, 11).
Kekristenan Hadir dan kemudian Gereja: Mereka Mengadopsi Istilah Itu
Kekristenan hadir dan kemudian berkembang menjadi Gereja, -Gereja sebagai institusi dari kekristenan yang mengeluarkan pengajaran. Istilah δογμα/ δογματα dipakainya, diadopsi, bahkan kemudian menjadi istilah Kristen (yang dalam kaitannya dengan gereja) untuk menunjuk ajaran-ajaran baik yang dihasilkan oleh Gereja(van Niftrik, 11). Kekristenan dan Gereja juga memakai istilah tersebut untuk menunjuk kepada ajaran-ajaran [pihak] lain yang kontra dengannya.
Soedarmo memberi penjelasan sebagai berikut:
Dogma adalah hasil penyelidikan orang percaya tentang Firman Tuhan yang ditentukan oleh Gereja dan diperintahkan untuk dipercaya. Gereja dapat tersesat, maka dogma yang ditentukan oleh gereja pun dapat salah. Inilah yang mejadikan dogma relatif. Selain daripada itu, perumusan bentuknya disusun oleh orang. Sudah barang tentu, bentuk ini tidak bertindih tepat, tidak adekuat dengan pernyataan Tuhan.
Apakah Gereja perlu menentukan dogma? Memang perlu! Bukan hanya perlu, melainkan hal ini harus dilakukannya. Gereja yang menentukan dogma, maka orang perseorangan tidak boleh menentukan dogma meskipun ia ahli dogmatika. Dan kalau perlu mengdakan perubahan dogma, Gerejalah yang berwenang mengubahnya
(Soedarmo, 5-6)
Seorang sarjana Jesuit bernama A. Deneffe dalam tulisannya yang berjudul Dogma, Wort und Begriff (Scholastik, 6, 1931) mendefiniskan dogma sebagai berikut, “Dogma est verietas a Deo formaliter revelata et ab Ecclesia sive sollemniter sive ordinarie definita,” yang berarti: “dogma adalah kebenaran, sejauh isinya berkenaan dengan Tuhan, -diwahyukan oleh Tuhan, didefinisikan oleh Gereja baik melalui [1] pernyataan konsili, [2] pernyataan Paus, [3] sebuah fakta yang umum diajarkan dalam gereja (Lohse, 5).
Seorang dogmatikus Protestan yang bernama Harnack, pada bukunya yang berjudul Lehrbuch der Dogmengeschichte (Mohr, 1931, 1-3), mendefinisikan kata “dogma” sebagai berikut:
Dogma-dogma Gereja merupakan ajaran-ajaran dari iman Kristen, yang diformulasikan dan diekspresikan secara logis untuk tujuan keilmuan dan pembelaan iman (apologetik). Ajaran-ajaran tersebut mencakup pengetahuan tentang Tuhan, tentang dunia, tentang pendamaian melalui Kristus, yang mana semua itu merupakan inti dari agama Kristen. Semuanya itu menyatu dalam gereja-gereja Kristen sebagai kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam Kitab Suci, -atau dalam tradisi suci, membentuk depositum fidei, harta kepercayaan.
(Lohse, 5)
§2 COBA JELASKAN TENTANG PERMULAAN-PERMULAAN “ILMU DOGMATIKA” DALAM SEJARAH GEREJA DAN KARYA SIAPAKAH YANG BISA DIANGGAP SEBAGAI BUKU DOGMATIKA PROTESTAN YANG PERTAMA?
Ilmu Dogmatika: Sejarah dan Perkembangannya
Dogmatika adalah ilmu teologi yang menyelidiki dan merumuskan hal-hal yang dinyatakan di dalam Kitab Suci dan yang mencari kesatuan dari hal-hal tersebut.(Soedarmo, 7). Perkembangan ilmu dogmatika dari masa ke masa, cenderung menampilkan berbagai liku-liku yang turut menentukan ilmu itu sendiri. Proses lahirnya dogma dalam gereja purba masih membutuhkan penyelidikan yang luas (Dieter,2) Akar – akar sejarah dalam proses perumusan dogma terdapat dalam katekisasi orang yang mau dibaptiskan dan dalam pengakuan mereka saat dibaptiskan.
Sesudah konsili Trente, kata dogma dipakai untuk menyebut ajaran gereja yangterdefinisi dan tetap. Pembagian penyataan Protestanisme dulu dihubungkan dengan pentingnya kebenaran bagi keselamatan manusia. Masa kini pemikiran ini terbagi dua:
- Dogma hanyalah obyek dari kritik ilmiah khususnya secara historis
- Sikap yang bersedia menerima kebenaran iman dan pemberlakuannya dan formulasinya bersifat terus menerus. Hal ini terlihat jelas dalam karya Karl Barth “Kirchliche dogmatik” (dogmatika gerejawi). Dengan demikian dogmatika haruslah merefleksikan iman jemaat. Namun tidak berarti dogmatika menolak upaya-upaya penyelidikan, penelitian, pertanyaan-pertanyaan dan pemikiran kritis, maupun konstruktif. Dogmatika justru mendorong ke arah itu.
Buku Dogmatika Pertama Protestan
Karya Origenes yang berjudul De Pricipiis (mengenai dasar – dasar) dianggap sebagai buku dogmatika protestan pertama.Zaman pertengahan Petrus Lombardus dengan karyanya Sententiarum libri IV (empat kitab mengenai kalimat dasar) menciptakan tipe klasik dogmatika di negara Barat. Teologi abad pertengahan mencapai puncaknya dalam Summa Theologiae (Ringkasan Teologi) dari Thomas Aquinas.
Luther dengan penekanannya pada meditation(renungan), tentatio (godaan) dan oratio(doa) teologi menampakkan diri sebagai teologi eksistensial. Hubungan eksistensi dalam teologi Luther terlihat dalam Dogmatika Reformasi yang mula – mula yaitu loci communes (kalimat–kalimat dasar yang umum) dari Ph. Melanchthon: mengenal Kristus berarti mengenal karya–karya penyelamatan-Nya, hocest cognoscere, beneficia eius cognoscere.
Teologi zaman ortodoksi Reformed dipengaruhi oleh Institutio Christianae Religionis dari Yohanes Calvin. Kalau dogmatika Lutheran menekankan pasal tentang pembenaran orang berdosa sebagai topik fundamental ajaran gereja, sedangkan dogmatika ortodoksi mengenal cara pandang lain yaitu:
- Pasal iman fundamental pertama, pernyataan iman yang perlu diakui dan diketahui untuk menerima keselamatan
- Pasal fundamental kedua, pernyataan iman yang tidak perlu diketahui dan diakui untuk menerima keselamatan, tetapi tidak boleh disangkal
- Pasal iman non fundamental, peenyataan iman yang tidak perlu diketahui atau bahkan dipertentangkan
Pada abad pencerahan, teologi reformatis digantikan oleh teologi naturalis (teologi yang mengakui bahwa manusia sanggup mengenal Allah dengan akal budinya). Rasio mengesampingkan Alkitab sebagai norma pengajaran.
Pada awal abad 19 muncul teologi baru yang dipengaruhi idealism dan mengambil sifat teologi pencerahan yang bertitik tolak dari pandangan subjektif. Dogmatika Schleiermarcher yang berjudul Kepercayaan Kristen bertemakan penyadaran diri yang saleh.Setelah PD 1, muncul teologi dialektik (K. Barth, E.Brunner, F.Gogarten, R.Bultmann) yang menghendaki Firman Allah sebagai titik tolak teologi secara eksklusif
§3 SEBUTKAN DUA FUNGSI DASAR TEOLOGI DOGMATIKA!
Dua fungsi teologi sistematika menurut Becker (Becker, 6):
- Reproduktif-Tradisional, memadukan tafsiran Alkitab dan penjelasan-penjelasan de deskriptif saja. Tugas dogmatika adalah mencari dan menetapkan pernyataan-pernyataan yang normatif, karena kesadaran iman itu timbul bila Kitab Suci dipakai orang-orang percaya pada situasi mereka masing-masing.
- Produktif-Kontekstual, menginterpretasikan Kitab Suci dan dogma terus-menerus secara baru, sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Dogmatika tidak boleh tinggal dalam pertimbangan-pertimbangan historis saja. Dogmatika tidak hanya menawarkan suatu konsensus (kesepakatan) yang tersedia, melainkan sekaligus juga akan menganjurkan usul-usul untuk formulasi dogma sesuai dengan situasi masa kini.
§4 JELASKAN PERANAN DOGMATIKA DI DALAM RANGKA BIDANG-BIDANG TEOLOGI LAINNYA!
Penjelasan Becker tentang peran Dogmatika dengan bidang lain teologi (Becker, 8-10):
Ilmu teologi dapat dibagi menjadi tiga ranah seperti gambar di bawah ini:
Dogmatika bersama dengan Etika disebut sebagai teologi sistematika. Sebagai catatan perlu diperhatikan bahwa seringkali istilah teologi sistematika dan dogmatika sering menjadi kacau dan blur. Batasan yang perlu dipahami adalah bahwa istilah teologi sistematika berbicara soal ranah ilmu teologi yang berupaya meninjau kembali secara sistematis bahan-bahan yang diteliti dalam teologi historis dan – sesudah menjalani suatu proses penilaian yang kritis, -mempercayakan kepada teologi praktika untuk diolah terus. Sedangkan dogmatika adalah bagian ilmu teologi yang mempelajari secara khusus ajaran-ajaran gereja serta gereja yang berotoritas atas ajaran-ajarannya tersebut.
Teologi Historis (PL, PB dan Sejarah Gereja) merupakan ilmu-ilmu pengetahuan pendukung bagi Teologi Sistematika. Teologi Praktika disusun kemudian sebagai teori dari praktek yang berstandar pada prinsip Teologi Sistematika itu. Posisi Teologi Sistematika yang berada di tengah, di antara Teologi Historika dan Teologi Praktika, menunjukkan betapa pentingnya Teologi Sistematika itu, yakni sebagai “jembatan” yang menjembatani Kitab Suci dan realita masa kini.
§5 TEOLOGI DOGMATIKA MEMAKAI METODE YANG MANA? COBA URAIKAN!
Teologi Dogmatika dikerjakan dengan memakai metode “kontekstualisasi,” –dilakukan dengan urutan langkah sebagai berikut: [1] menentukan masalah dalam situasi sekarang; [2] mengerjakan (mendekati, meninjau) masalah secara eksegetis dan historis; [3] menentukan tanggapan yang bersifat kontekstual.
Dari urutan kerja di atas, jelas sekali terlihat bahwa Teologi Dogmatika selalu berorientasi merespon dan mengupayakan solusi permasalahan-permasalahan riil masa kini, bukan menjadikan dan membawa orang/ keadaan masa kepada masa lalu pada zaman Kitab Suci.
§6 APA YANG DIMAKSUD DENGAN “KONTEKSTUALISASI TEOLOGI” DAN BAGAIMANA MENENTUKAN TANGGAPAN YANG BERSIFAT KONTEKSTUAL?
Menurut Ch. De Jonge, kontekstualisasi teologi adalah suatu usaha untuk menerjemahkan berita Injil sedemikian rupa sehingga beritanya dapat dipahami oleh orang yang hidup dalam konteks yang berbeda dari konteks pekabar Injil sendiri.
Istilah “kontekstualisasi teologi” pertama kali dikemukakan oleh seorang teolog Asia bernama Shoki Choe, dalam sebuah diskusi ekumenis pada tahun 1972, yang mana istilah tersebut merupakan upaya untuk mencari padanan atas pemikiran pempribumian, indigenisasi dan teologi in loco.
Kontekstualisasi dapat merujuk pada tiga hal, yakni kontekstualisasi (Alkitab terjemahan) atau proses penyampaian pesan Alkitab (Amanat Agung); kedua, kontekstualisasi (sosiallinguistik), penggunaan bahasa dan wacana sebagai aspek yang relevan dari situasi interaksional atau komunikatif; ketiga contextualism, koleksi pandangan dalam filsafat yang menyatakan bahwa tindakan hanya dapat dipahami dalam konteks.
Kontekstualisasi berarti mengkomunikasikan injil dalam hal tepat untuk dimengerti oleh jemaat. Dalam bidang penerjemahan Alkitab dan interpretasi, kontekstualisasi adalah proses untuk menempatkan makna sebagai alat menafsirkan lingkungan di mana teks atau tindakan dijalankan. Kontektualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan.
—– oooooooo OOO oooooooo —–
DAFTAR BACAAN TERPILIH
Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Soedarmo, R. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
van Niftrik, G.C. dan B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Lohse, Bernhard. A Short History of Christian Doctrine from the First Century to the Present. Terj. F. Ernest Stoeffler. Philadelphia: Fortress Press, 1980. Buku asli: Lohse, Bernhard. Epochen der Dogmengeschichte. Stuttgart: Kreuz Verlag, 1963.
McGrath, Alister E. Studies in Doctrine. Michigan: Zondervan, 1997.
Stylianos, Harkianakis. “Dogma and Authority in the Church.” Phronema 12, 2013. 8-23.